Mengembalikan Zakat ke Khitah Awalnya

Oleh: Nuruddin Mhd. Ali

Take sadaqah (alms) from their wealth in order to purify them and sanctify them with it, and invoke Allah for them. Verily! Your invocations are a source of security for them; and Allah is All-Hearer, All-Knower

(QS. Al-Tawbah [9]: 103)

Zakat merupakan salah satu topik selalu menarik untuk dikaji. Telah banyak literatur yang mencoba melihat zakat dari berbagai sisinya, seperti dari aspek hukum (fiqh), manajemen, potensi, dan peranannya dalam pengentasan kemiskinan. Kalangan ekonom dan peminat kajian pembangunan (development studies) modern juga telah banyak melakukan kajian-kajian serupa. Sebut saja misalnya Ziauddin Ahmad et.al (1983) yang mengkaji zakat sebagai sebuah instrumen dalam kebijakan fiskal.[1] Munawar Iqbal (1997) juga menerbitkan sejumlah tulisan yang mendiskusikan zakat sebagai sebuah instrumen pengaman sosial (social security) yang merupakan bagian dari sebuah sistem yang terintegrasi dari program pengentasan kemiskinan dan distribusi pendapatan.[2] Abu al-Hasan Sade (1994) juga melakukan hal serupa lewat kajiannya yang bertajuk A Survey of the Institution of Zakah: Issues, Theories, and Administration. Dalam bukunya ini Sadeq menawarkan dimensi ekonomi, hukum, dan administrasi instrumen zakat.[3] Demikian pula halnya dengan M. Umar Chapra (2000, 1993, 1985) yang dalam sejumlah tulisannya banyak menyinggung peran penting yang dimainkan oleh zakat dalam masyarakat. Daftar ini akan semakin panjang kalau semua tulisan tentang zakat dimuat di sini, baik dari kalangan pengkaji dalam negeri maupun dari luar negeri.

Hal ini menunjukkan sedemikian massifnya kajian dan tulisan tentang zakat yang berusaha membuktikan betapa pentingnya peranan yang dimainkan zakat sebagai sebuah instrumen bagi pembangunan ekonomi. Meskipun demikian, tidak banyak literatur yang berusaha untuk mengantarkan zakat agar kembali ke dalam kekuasaan negara untuk mengumpulkan dan mendistribusikannya sebagai bagian yang integral dalam kebijakan fiskal pemerintah. Padahal, sedemikian banyaknya tulisan yang membuktikan keunggulan zakat daripada instrumen-instrumen lain seperti pajak seharusnya memberi efek sadar bahwa sudah saatnya zakat menjadi ’anak kandung’ negara dalam bidang pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.

Ada beberapa alasan yang medorong perlunya memasukkan redistribusi kekayaan sebagai salah satu peranan yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam suatu masyarakat. Menurut kajian Dan Usher (1992) yaitu motif-motif itu adalah altruism, insurance, pencegahan tindak kriminal, dan pemeliharaan kondisi masyarakat liberal.

Altruisme, atau praktek mementingkan orang lain daripada diri sendiri, merupakan salah satu alasan mengapa proses redistribusi tersebut perlu dilakukan oleh negara. Jika seorang altruist (dermawan) merasa cukup puas dengan memberikan sumbangannya (donation) kepada sebuah lembaga pengumpul dana sosial (charity) maka redistribusi itu cukup dilakukan oleh charity. Tetapi apabila ia baru akan puas apabila kesejahteraan rata-rata orang-orang miskin di negara tersebut meningkat, maka ia mungkin lebih puas apabila negara menggunakan kekuasaannya untuk mengumpulkan dana yang akan digunakan untuk menolong orang-orang yang kurang beruntung tersebut.

Motif asuransi (insurance) bagi redistribusi kekayaan dilatarbelakangi oleh ketidakpastian mengenai keberlangsungan (sustainability) kemampuan seseorang untuk dapat mempertahankan kehidupannya. Ketidakpastian itu dapat disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat mental, atau lahir di tengah keluarga pra-sejahtera yang tidak mempunyai kemampuan untuk mendukung pendidikan anak-anak tersebut. risiko-risiko lainnya dapat berupa risiko yang biasa dihadapi dalam ekonomi pasar itu sendiri seperti risiko kegagalan usaha, risiko investasi, risiko tabungan, dan lain-lain. Di samping itu terdapat pula risiko-risiko lainnya berupa bencana alam yang disebabkan oleh gempa bumi, banjir, tanah longsor, angin tornado, dan lain-lain. Ketidakpastian juga dapat timbul akibat adanya kemungkinan mendapat kecelakaan.

Di antara risiko-risiko di atas, seperti risiko kecelakaan mobil dan kebakaran rumah, dapat diasuransikan melalui perusahaan-perusahaan asuransi yang telah ada. Risiko-risiko lain, seperti risiko kemiskinan bagi anak-anak yang dilahirkan di tengah keluarga miskin, tidak dapat diasuransikan. Dengan kata lain, tidak ada perusahaan asuransi yang menawarkan produk asuransi kemiskinan. Tidak adanya asuransi jenis ini antara lain disebabkan oleh dua faktor. Pertama, perusahaan-perusahaan asuransi menduga kuat bahwa anak-anak ini sebagian besar tidak akan mampu menghindari bahaya kemiskinan, sehingga perusahan asuransi harus membayarkan klaim asuransi kemiskinan kepada anak-anak itu. Kedua, program asuransi kemiskinan menghadapi masalah adverse selection, yaitu menarik terlalu banyak orang-orang miskin dan sangat sedikit orang-orang kaya yang menjadi peserta sehingga menyebabkan program ini tidak menjadi tidak layak. Karena ketiadaan asuransi privat terhadap kemiskinan, maka diperlukan adanya asuransi jenis lain melalui negara terhadap risiko-risiko yang tidak dapat ditanggulangi oleh asuransi swasta.

Motif pencegahan terhadap timbulnya tindak kejahatan atau kriminalitas (deterrence of crime) didasari oleh pemikiran bahwa kemiskinan berpotensi menarik sebagian anggota masyarakat untuk bertindak jahat atau menyebabkan keterbelakangan. Dalam sebuah hadis dinyatakan ”kada al-faqru an yakuna kufr.” Artinya, kefakiran itu dapat menyebabkan kekufuran. Kufur atau kafir menurut bahasa berarti tertutup. Kekufuran atau kekafiran bukan saja diartikan dapat menyebabkan seseorang menjadi murtad atau tidak melaksanakan syariat Islam, tetapi juga dapat mendorong ia melakukan tindak kejahatan seperti mencuri atau merampok karena telah tertutup hati, mata, dan telinganya terhadap kebenaran. Di samping itu, kufur juga dapat diartikan keterbelakangan (ignorance) dan kebodohan.

Meskipun belum tentu dapat menghapus dan mencegah semua tindak kejahatan dan keterbelakangan, setidaknya redistribusi pendapatan dari yang kaya ke yang miskin dapat mengurangi potensi timbulnya kejahatan dan keterbelakangan di tengah masyarakat. Dengan asumsi seperti ini, tanpa adanya redistribusi, meningkatnya tindak kejahatan akan mengakibatkan biaya tinggi yang digunakan untuk mencegah terjadinya kriminalitas, mengejar pelaku kejahatan, dan menghukum mereka. Alangkah lebih baik dana-dana tersebut disalurkan oleh orang-orang kaya dalam bentuk redistribusi kekayaan yang secara tidak langsung mampu mengurangi angka kejahatan di tengah masyarakat.

Motif lainnya adalah memelihara ketentraman masyarakat (preservation of liberal society. Alasan politis dalam masyarakat liberal bagi redistribusi kekayaan adalah adanya berbagai kekhawatiran yang dapat menjadi kenyataan apabila masyarakat miskin melakukan tindakan-tindakan yang dapat merusak tatanan masyarakat sipil. Misalnya melakukan aksi anarkis yang menyulut terjadinya kerusuhan sosial. Kekhawatiran terhadap hal ini mendorong golongan kaya merelakan sebagian haknya diberikan kepada masyarakat miskin lewat redistribusi.

Motif-motif di atas merupakan alasan yang digunakan oleh sebagian negara-negara Barat dalam program redistributif seperti tunjangan pensiun bagi warga manula (senior citizen), subsidi bagi penganggur, dan sebagainya.

Zakat dan Rasionalitas Redistribusi oleh Negara

Dalam Islam, altruisme merupakan salah satu alasan bagi perilaku kedermawanan. Dalam surat Al-Hasyar (59) ayat 9 Allah memuji perilaku kaum Anshar yang lebih menyantuni kaum Muhajirin meskipun kesulitan yang mereka hadapi tidak jauh berbeda.

Kalau sudah senisab, harus dikeluarkan zakatnya

Kalau sudah senisab, harus dikeluarkan zakatnya

Dalam perilaku filantropinya (giving behavior), seorang Muslim mempunyai pilihan dalam mencapai kepuasaannya (utility function). Kalau ia sudah merasa puas dengan berderma kepada seorang peminta-minta, menyumbang korban bencana alam, memberi santunan bulanan kepada beberapa anak yatim, atau bentuk-bentuk charity lainnya, maka berarti kurva kepuasaannya sudah mencapai titik maksimum dengan memberikan berinfak secara pribadi dan langsung (direct giving) tersebut.

Namun, apabila ia tidak cukup puas dengan pola berderma seperti itu karena melihat tingkat kesejahteraan kelompok masyarakat miskin, maka mungkin saja pola pengumpulan dan penyaluran zakat perlu dilakukan oleh negara (indirect giving).

Ada beberapa alasan mengapa negara perlu campur tangan dalam pengelolaan zakat. Pertama, zakat bukanlah bentuk charity biasa atau bentuk kedermawanan sebagaimana infak, wakaf, dan hibah. Zakat hukumnya wajib (imperatif) sementara charity atau donasi hukumnya mandub (sunnah). Pemungutan zakat dapat dipaksakan berdasarkan firman Allah dalam surat al-Tawbah (9) ayat 103. padahal, satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti itu adalah negara lewat perangkat pemerintahan, seperti halnya pengumpulan pajak. Apabila hal ini disepakati, maka zakat akan menjadi salah satu sumber penerimaan negara.

Kedua, potensi zakat yang dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar. Menurut sebuah sumber, potensi zakat di Indonesia mencapai hampir 20 triliun per tahun. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation tahun 2005 mengungkapkan, jumlah potensi filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai Rp 19,3 triliun. Di antara potensi tersebut, Rp 5,1 triliun berbentuk barang dan Rp 14,2 triliun berbentuk uang. Jumlah dana sebesar itu, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 triliun) dan sisanya zakat harta Rp 13,1 triliun. Salah satu temuan menarik dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat maal diberikan langsung kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan zakat maal terbesar (70 persen) adalah masjid-masjid. Badan Amil Zakat (BAZ) pemerintah hanya mendapatkan 5 persen zakat fitrah dan 3 persen zakat maal, serta Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta hanya 4 persen zakat maal.

Pada kenyataannya, dana zakat yang berhasil dihimpun dari masyarakat masih jauh dari potensi yang sebenarnya. Sebagai perbandingan, dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh lembaga-lembaga pengumpul zakat hanya beberapa puluh milyar saja. Itu pun bercampur dengan infak, hibah, dan wakaf. Potensi yang sangat besar itu akan dapat dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui departemen teknis pelaksana.

Ketiga, zakat mempunyai potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional. Dana zakat yang sangat besar sebenarnya cukup berpotensi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat jika disalurkan secara terprogram dalam rencana pembangunan nasional. Dalam periode tertentu, suatu negara membuat rencana pembangunan di berbagai bidang sekaligus perencanaan anggarannya. Potensi zakat yang cukup besar dan sasaran distribusi zakat yang jelas seharusnya dapat sejalan dengan rencana pembangunan nasional tersebut.

Keempat, agar dana zakat dapat disalurkan secara tepat, efisien dan efektif sehingga mencapai tujuan zakat itu sendiri seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pengumpulan dan pendistribusian zakat yang terpisah-pisah, baik disalurkan sendiri maupun melalui berbagai charity membuat misi zakat agak tersendat. Harus diakui bahwa berbagai lembaga charity telah berbuat banyak dalam pengumpulan dan pendistribusian dana zakat dan telah banyak hasil yang dapat dipetik. Namun, hasil itu dapat ditingkatkan kalau pengumpulan dan pengelolaannya itu dilakukan oleh negara.

Kelima, memberikan kontrol kepada pengelola negara. Salah satu penyakit yang masih menggerogoti keuangan Indonesia adalah korupsi atau penyalahgunaan uang negara. Padahal, sebagian besar pengelola negara ini mengaku beragama Islam. Penyalahgunaan ini antara lain disebabkan oleh lemahnya iman menghadapi godaan untuk korupsi. Masuknya dana zakat ke dalam perbendaharaan negara diharapkan akan menyadarkan mereka bahwa di antara uang yang dikorupsi itu terdapat dana zakat yang tidak sepantasnya dikorupsi juga. Petugas zakat juga tidak mudah disuap dan wajib zakat juga tidak akan main-main dalam menghitung zakatnya serta tidak akan melakukan ‘tawar-menawar’ dengan petugas zakat sebagaimana sering ditemui dalam kasus pemungutan pajak.

Banyak lagi alasan mengapa zakat perlu dikembalikan ke dalam sistem fiskal negara. Meskipun demikian, ada beberapa pertanyaan atau keberatan terhadap agenda ini. Hal ini antara lain dikarenakan sudah terlalu lamanya zakat terpisah dari sistem negara dan menjadi urusan masing-masing pribadi Muslim. Mengembalikannya ke dalam sistem negara tentu bukan pekerjaan mudah. Akan banyak pihak yang keberatan dengan berbagai alasan yang dikemukakan. Mereka yang berpotensi menolak terutama berasal dari kelompok yang phobia dengan masuknya institusi-institusi keagamaan ke dalam sistem kenegaraan atau menolak turut campurnya negara dalam urusan keagamaan atau spiritualitas anggota masyarakat. Menurut mereka, zakat tidak dapat masuk dalam sistem fiskal negara karena hanya ekslusif untuk umat Islam dan kalau dipaksakan akan memicu disintegrasi bangsa. Alasan lainnya adalah bahwa negara ini bukan negara Islam dan institusi-institusi keislam seperti zakat tidak dapat diadopsi dalam sistem kenegaraan.

Alasan lain barangkali adalah bahwa zakat seharusnya dikelola sendiri oleh kelompok-kelompok masyarakat. Campur tangan negara sudah terlalu banyak dan jangan diperbesar lagi. Zakat merupakan suatu potensi yang unik bagi pengembangan civil society dan menumbuhkembangkan kemandirian masyarakat itu sendiri.

Terlepas dari itu semua, setidaknya penulisan buku ini, dan juga karya-karya intelektual sejenis, membuka wacana tentang perlunya negara turut bertanggung jawab dalam memastikan masyarakat Muslim dalam menunaikan kewajiban mereka dalam membayar zakat. Dengan sendirinya potensi zakat yang cukup besar itu dapat digali dan diberdayakan. Di samping itu, diharapkan negara juga membantu agar sasaran pendistribusian zakat betul-betul sampai ke tujuan zakat yang sebenarnya yaitu meningkatkan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.

Mengembalikan Zakat ke Khittah Awalnya

Salah satu persoalan laten dalam konsep ekonomi islam adalah persoalan dualisme zakat dan pajak yang harus ditunaikan warga negara yang Muslim. Hal ini telah mengundang perdebabatan yang berlarut-larut hampir sepanjang sejarah Islam itu sendiri. Sebagian besar ulama fiqh memandang bahwa zakat dan pajak adalah dua entitas yang berbeda dan tidak mungkin dipersatukan. Menurut mereka, zakat adalah kewajiban spiritual seorang Muslim terhadap Tuhannya, sedangkan pajak adalah kewajibannya terhadap negara.

Untuk itu, perlu diadakan kajian kritis untuk mengintegrasikan kedua kewajiban itu sehingga kewajiban seorang Muslim terhadap agama dan negaranya dapat terlaksana secara simultan. Sebaliknya negara juga diuntungkan karena penerimaan negara dari sektor pajak sesuai dengan yang diharapkan. Pada gilirannya, pengintegrasian itu perlu diwujudkan dalam kebijakan fiskal negara.


[1] Ahmad, Ziauddin. 1991. Islam, Poverty and Income Distribution. Leicester, U.K: The Islamic Foundation.

[2] Iqbal, Munawar. Ed. 1997. Distributive, Justice, and Need Fulfilment in an Islamic Economy. Islamabad: International Institute of Islamic Economics, International Islamic University

[3] Sadeq, Abu al-Hasan. 1994. A Survey of the Institution of Zakah: issues, Theories, and Administration. Jeddah: IRTI, Islamic Development Bank

This entry was posted in Islamic Economics and tagged , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment